Jumat, 12 Desember 2014

Supernova


Saat kamu bermimpi, meraih sesuatu yang indah namun tak pasti. Sesungguhnya kamu hanya membuang seluruh waktu mu. Mimpi adalah bunga tidur, lebih baik menanam bunga dari pada menghayalkan memiliki bunga. Aku disini tertawa lepas seiring titik butiran-butiran air kesedihan. Menangiskah aku? Pantaskah air mata ini untuk seonggok insan sepertimu?.

Hina. Aku

Perasaan ini hina. Sehina saat aku melupakan, mengesampingkan semuanya. Kamu..benteng pelindungku dari dunia lainku. Aku kesal, tapi tak tau bagaimana melampiaskannya. Mungkin semua orang akan merugi jika dekat denganku. Ya, seorang tukang tulis yang akan terus menuliskan kisah sedihnya di jejaring sosial semacam ini. Hidupku dan hidupnya akan terkesan sangat menyedihkan. Walaupun itu salah tapi, inilah aku dengan segenap rangkaian kataku.

Aku mencintai dia yang jahat. Dengan segenap hati aku selalu mencintai orang-orang jahat. Walaupun mereka sempat menjadi baik. Tak apa. Karna belakangan aku menyadari, aku lebih mencintai diriku yang mencinta ini.

Jika kalian tidak bisa membantu, setidaknya jangan menyakiti.

Aku si perasa sakit, namun enggan menularkan sakitku kepada yang lain. Biarlah aku yang menderita, kalian jangan. Maka maafkanlah aku yang terpaksa merobek pelipismu. Perih bukan? Tapi berterima kasihlah kepadaku. Setidaknya aku tlah mengurungkan niat untuk merobek urat nadi mu. Rasanya pasti akan 1000 kali lebih pedih.

Jika nyawa harus dibayar dengan nyawa.

Semua perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih parah. Karna darah adalah darah dan tangis adalah tangis. Takkan ada peran pengganti dalam rasa sakitmu.

Tapi perasaan ini cukup besar untukku kuat berjalan sendiri diatas bukit berduri tanpa mu.

Ajari aku menjadi naif..senaif dirimu yang masih bisa tertawa. Disaat semua orang memikirkan bagaimana perasaan, pendapat, komentar orang lain...sementara kamu tidak. Aku akan tetap terbang, membiarkan mu mendahului ku. Membiarkan mu meraih omong kosong mu. Untuk nantinya kamu berikan kepadaku. Tapi entah untuk dinikmati berdua atau sekedar untuk alat pemukul keras yang akan ku hujamkan tepat di wajahmu. Membiarkan kamu kembali jatuh kedalam jurang yang kamu gali sendiri.

"(Degup jantung, hembusan nafas. Harmoni tanpa not) Itulah rima dari puisi yang tak pernah habis : Hidup. Dan bila jantung berhenti? Puisi adalah roh bertabir kata. Roh itu, tak pernah mati. Tak pernah pergi? Ia segalanya. Harus pergi ke mana lagi? segalanya ada padamu." (dewi dee lestari)